Senin, 08 Februari 2016

Dan 6 Penggemar Pisang Goreng

Foto dok Republika Online



Asmawi Syam telah berkiprah selama puluhan tahun di dunia perbankan. Pria kelahiran Ujungpandang tersebut telah berkiprah di BRI sejak 1980. Setelah diangkat sebagai direktur utama BRI, kesibukan pria ini semakin bertambah. Kini, ia justru mempunyai hobi baru, di luar hobinya berolahraga.

"Saya hobinya sudah beralih, biasanya suka travelling, kalau sekarang, hobinya kerja di kantor," ujar Asmawi di Jakarta beberapa waktu lalu.

Sebagai orang nomor satu di bank milik pemerintah ini, Asmawi kerap melakukan kerja lembur untuk menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya. Namun, lulusan Magister Manajemen Universitas Padjadjaran ini tetap melatih fisiknya agar tetap bugar.

Di sela-sela kegiatan sebagai bankir, Asmawi masih menyempatkan diri melakukan aktivitas lain. Dia mengaku menggemari olahraga golf sejak menjadi bankir.

Sebelumnya, hobi olahraga Asmawi termasuk ekstrem. Sejak mahasiswa, dia mengikuti latihan karate dan kerap naik gunung. Saat masih menjadi mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin Makassar, ia telah mendaki beberapa gunung di Pulau Selebes tersebut. Terakhir, ia mendaki Gunung Bawakaraeng di Sulawesi Selatan.

Hobi karate tetap dijalaninya hingga kini. Asmawi telah meraih sabuk hitam dengan posisi Dan 6. Ia bukan lagi berlatih karate melainkan melatih karate sebulan dua kali di dojo-dojo sekitar Jakarta. "Soalnya kalau sudah Dan 6 terus tidak bisa gerak apa-apa kan malu juga," ucapnya.

Jabatan tinggi tak berarti seleranya selalu high class. Buktinya, Asmawi justru menggemari jajanan tradisional. Pisang goreng menjadi camilan favorit suami Ani Soemarmo tersebut. Terlebih pisang goreng yang dimasak istrinya. Jika tidak, ia kerap membeli pisang goreng di warung-warung pinggir jalan atau pisang goreng yang dijual di kantin kantor pusat BRI.

Sebelum dilantik menjadi Direktur Utama BRI, Asmawi sempat menjabat sebagai direktur BRI periode 2007-2014. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Kepala Divisi Bisnis Umum BRI periode 2005-2007.

NB: Tulisan ini pernah dimuat di Harian Republika edisi 1 Februari 2016. 

Sabtu, 06 Februari 2016

Dari Baca Republika Sampai Sop Kaki Kambing



Saya berfoto bersama Gubernur BI Agus
Martowardojo saat berkunjung ke kantor Republika

Pagi hari menjadi waktu yang tepat untuk menyelami berbagai informasi. Seperti yang dilakukan Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo yang mengaku berlangganan Republika dan membacanya setiap pagi. Pria kelahiran Amsterdam, Belanda, pada 24 Januari 1956 tersebut mengaku belum bangun tidur jika belum membaca Republika.

"Saya terus mengikuti Republika. Republika adalah salah satu media yang saya merasa belum bangun tidur kalau saya belum baca Republika, jadi saya sudah lama sekali menjadi pelanggan," ucapnya saat mengunjungi kantor Republika di Jl Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.

Agus bergurau, jika bangun tidur ia membaca koran, anaknya justru memegang ponsel cerdas untuk membaca berita online. Dalam kunjungan itu, mantan menteri keuangan pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut mengungkapkan apresiasi kepada Republika yang sudah terbit sejak 1993 dan sudah melalui berbagai tantangan.

Menurut dia, tantangan yang dihadapi tidak sedikit, termasuk tantangan perekonomian. Sebab, sudah ada beberapa media cetak yang sudah tidak bisa terbit. Republika pun diminta menjaga integritas dan tidak tergoda dengan popularitas.

Di sela-sela kesibukannya, ternyata suami dari Nies Berliantin tersebut menggemari sop kaki kambing. Dia mengaku kerap mampir ke warung sop kaki kambing di bilangan Roxy, Jakarta Pusat. Kegemaran Agus pada sop kaki kambing juga diaplikasikan saat ada acara khusus di Bank Indonesia. Hidangan yang disediakan tak luput dari sop kaki kambing. Selain itu, Agus yang menjadi Gubernur Bank Indonesia sejak 23 Mei 2013 ini juga menggemari berbagai makanan tradisional Indonesia, seperti nasi liwet ataupun gudeg khas Yogyakarta.

Agus merupakan lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada 1984. Dia juga memperluas wawasan dengan mengikuti program di State University of New York, Harvard Business School, Standford University, dan Wharthon Executive Education.

Perjalanan karier bapak dua anak tersebut diawali di dunia perbankan. Mulai di Bank of America, kemudian di Bank Niaga pada 1986.

Agus juga pernah menjadi managing director Bank Mandiri pada 1999-2002. Pada Oktober 2002, dia ditugaskan menjadi direktur utama PT Bank Permata Tbk, dan sejak Mei 2005 sampai Mei 2010 menjadi direktur utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk.


NB : Tulisan ini pernah dimuat di Harian Republika, 23 November 2015. Agus Martowardojo merupakan salah satu narasumber favorit saya. Tutur katanya halus namun tegas. Ia juga dekat dengan para wartawan. 

Jumat, 05 Februari 2016

Jangan Salahkan Lidah Saya


Nasi lauk kepiting cabai ijo ini saya beli waktu
berkunjung ke Pulau Untung Jawa di Kepulauan Seribu 

Perbincangan anak rantau tak pernah lepas dari persoalan makanan. Bagaimana tidak, jauh dari kampung halaman yang biasa menyuguhkan makanan sesuai lidah bisa menyulitkan beberapa orang tertentu. Termasuk saya.
Pertama kali merantau ke Jakarta pada Mei 2014 lalu, saya sempat didera penyakit 'tidak nafsu makan' selama beberapa bulan. Mungkin bagi warga Jakarta sudah biasa makan di tempat berjudul Warung Padang atau Warung Tegal maupun Warung Sunda. Bagi saya yang biasa jajan di warung kampung tentulah tidak biasa.
Beragam warung sudah saya jajaki. Mulai dari tiga warung di atas, ditambah warung bakso dan mie ayam, warung capcay dan kwetiaw, warung ayam penyet hingga restoran di mal yang harganya cukup menguras kantong.
Alhasil, warung ibu-ibu Sunda dekat kosan saya di bilangan Pejaten menjadi pelabuhan saya selama beberapa waktu. Menu ayam goreng, tumis cumi dan ikan kembung menjadi andalan saya. Ditambah sambal yang pedasnya sesuai dengan lidah saya.
Namun, tak lama saya segera berpindah ke Warung Tegal samping gang kosan. Menu andalan saya hampir sama. Mungkin lidah saya sudah kemicinan sehingga makanan yang dianggap teman saya enak, bahkan terasa hambar di lidah saya.
Sampai suatu hari saya dipindahtugaskan ke Surabaya, tepatnya 20 Januari 2016. Saya harus berusaha menelusuri warung-warung yang masakannya sesuai lidah saya. Dalam dua pekan ini, saya baru menjajal warung di sekitar kantor saya di bilangan Jl Ketintang Baru I No 14H. Ada warung Padang, mie ayam, pecel Madiun, sampai bebek goreng. Lidah saya sepertinya lebih bisa menerima masakan warung di Surabaya ketimbang di Jakarta. Mungkin ada kawan-kawan yang senasip dengan saya.
Sejauh ini, yang paling berkesan menu belut goreng di Warung Belut Khas Surabaya di daerah Ngagel. Untung saya ketemu rekan dari koran tetangga yang mengajak saya kulineran di Surabaya.
Saya masih mengira lidah saya aneh, sampai seorang teman berkata, "Hal yang paling tidak berguna itu memperdebatkan soal selera". Kata-katanya tidak ada yang salah.
Memang lidah masing-masing orang berbeda. Ada teman saya satunya, segala macam makanan dilahap. Bagi dia, tidak ada makanan yang tidak enak. Saya salut dengan orang-orang seperti itu. Bagaimanapun, saya tetap mencoba agar lidah saya terbiasa dengan masakan di Surabaya.
Oke, aya sudah lapar, mari berburu kuliner di Surabaya.