Jumat, 05 Februari 2016

Jangan Salahkan Lidah Saya


Nasi lauk kepiting cabai ijo ini saya beli waktu
berkunjung ke Pulau Untung Jawa di Kepulauan Seribu 

Perbincangan anak rantau tak pernah lepas dari persoalan makanan. Bagaimana tidak, jauh dari kampung halaman yang biasa menyuguhkan makanan sesuai lidah bisa menyulitkan beberapa orang tertentu. Termasuk saya.
Pertama kali merantau ke Jakarta pada Mei 2014 lalu, saya sempat didera penyakit 'tidak nafsu makan' selama beberapa bulan. Mungkin bagi warga Jakarta sudah biasa makan di tempat berjudul Warung Padang atau Warung Tegal maupun Warung Sunda. Bagi saya yang biasa jajan di warung kampung tentulah tidak biasa.
Beragam warung sudah saya jajaki. Mulai dari tiga warung di atas, ditambah warung bakso dan mie ayam, warung capcay dan kwetiaw, warung ayam penyet hingga restoran di mal yang harganya cukup menguras kantong.
Alhasil, warung ibu-ibu Sunda dekat kosan saya di bilangan Pejaten menjadi pelabuhan saya selama beberapa waktu. Menu ayam goreng, tumis cumi dan ikan kembung menjadi andalan saya. Ditambah sambal yang pedasnya sesuai dengan lidah saya.
Namun, tak lama saya segera berpindah ke Warung Tegal samping gang kosan. Menu andalan saya hampir sama. Mungkin lidah saya sudah kemicinan sehingga makanan yang dianggap teman saya enak, bahkan terasa hambar di lidah saya.
Sampai suatu hari saya dipindahtugaskan ke Surabaya, tepatnya 20 Januari 2016. Saya harus berusaha menelusuri warung-warung yang masakannya sesuai lidah saya. Dalam dua pekan ini, saya baru menjajal warung di sekitar kantor saya di bilangan Jl Ketintang Baru I No 14H. Ada warung Padang, mie ayam, pecel Madiun, sampai bebek goreng. Lidah saya sepertinya lebih bisa menerima masakan warung di Surabaya ketimbang di Jakarta. Mungkin ada kawan-kawan yang senasip dengan saya.
Sejauh ini, yang paling berkesan menu belut goreng di Warung Belut Khas Surabaya di daerah Ngagel. Untung saya ketemu rekan dari koran tetangga yang mengajak saya kulineran di Surabaya.
Saya masih mengira lidah saya aneh, sampai seorang teman berkata, "Hal yang paling tidak berguna itu memperdebatkan soal selera". Kata-katanya tidak ada yang salah.
Memang lidah masing-masing orang berbeda. Ada teman saya satunya, segala macam makanan dilahap. Bagi dia, tidak ada makanan yang tidak enak. Saya salut dengan orang-orang seperti itu. Bagaimanapun, saya tetap mencoba agar lidah saya terbiasa dengan masakan di Surabaya.
Oke, aya sudah lapar, mari berburu kuliner di Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar